Salah satu masalah fundamental yang perlu dikaji dan dihayati dalam
kehidupan ini adalah mencari arti dan tujuan dari hidup dan kehidupan.
Manusia acapkali mengajukan pertanyaan untuk apa ia hidup dan apa yang
seharusnya menjadi tujuan hidup itu. Dari sudut pandang Islam, seseorang
juga akan bertanya, di samping pertanyaan di atas, “Apa yang menjadi
tujuan dan sasaran diutusnya para nabi?”
Namun, tujuan dan misi para nabi tentu saja tidak sama dengan tujuan
setiap individu dalam masyarakat; karena, para nabi diutus untuk memandu
dan membimbing manusia kepada beberapa tujuan yang sangat urgen dan
mendasar. Selangkah lebih jauh, kita juga dapat menyodorkan pertanyaan:
“Apa tujuan penciptaan manusia dan makhluk-makhluk lainnya?”
Masalah ini memerlukan sebuah analisa yang tepat dan akurat. Hal ini
boleh jadi bertalian dengan “tujuan Sang Pencipta dalam penciptaan,
manifestasi kehendak dan tujuan-Nya”.
Sementara itu kita tidak dapat beranggapan bahwa Tuhan memiliki tujuan,
dan yakin bahwa Dia berhasrat untuk meraih dan mendapatkan sesuatu di
balik perbuatan-Nya itu. Anggapan semacam ini bermakna adanya kekurangan
dan cela pada pelaku dari sebuah perbuatan, yang hanya benar kalau
dinisbahkan pada makhluk yang memiliki potensi, tapi tidak bagi Sang
Pencipta; lantaran hal itu akan bermakna bahwa Dia bermaksud bergerak
menuju kesempurnaan dan mendapatkan sesuatu yang Dia tidak miliki.
Namun terkadang, tujuan penciptaan artinya tujuan dari perbuatan
penciptaan, bukan Sang Pencipta. Hal ini berkaitan dengan gerakan yang
dicipta menuju kesempurnaan, bukan kesempurnaan dari Sang Pencipta itu
sendiri. Dalam artian ini, apabila kita berpikir tabiat penciptaan
senantiasa bergerak ke arah kesempurnaan, maka terdapat sebuah motif dan
tujuan dalam penciptaan.
Hal ini yang sebenarnya menjadi permasalahan, yaitu, setiap sesuatu yang
diciptakan memiliki tingkatan kemandirian dalam mencapai kesempurnaan
yang dituju; dan setiap kondisi terdapat tingkatan-tingkatan kecacatan
atau kesempurnaan hingga batasan maksimum tercapai. Persoalan “motif
dalam penciptaan manusia” adalah secara mendasar berkenaan dengan
‘tabiat manusia.” Hal ini berkaitan dengan bakat apa pun yang inheren
dalam dirinya, dan kesempurnaan individual apa pun menjadi mungkin
baginya. Sekali kesempurnaan dapat dicapai oleh seseorang, kita dapat
berkata bahwa ia diciptakan untuk hal tersebut.
Nampaknya kita tidak perlu mengelaborasi tujuan dan motif penciptaan
manusia dalam sebuah topik yang berbeda. Akan memadai bagi kita melihat
jenis makhluk apakah manusia itu, dan kemampuan apa saja yang inheren
dalam dirinya. Dengan kata lain, lantaran pembahasan kita berkaitan
dengan perspektif Islam tentang tujuan penciptaan, bukan sesuatu yang
bersifat filosofis, kita harus melihat bagaimana Islam memandang manusia
dan kemampuan yang dimilikinya.
Secara natural, misi para nabi, juga diyakini secara aklamasi, untuk
memfasilitasi kesempurnaan manusia dan membantunya untuk menghilangkan
segala cela, aib dan cacat yang ada, secara individual dan sosial. Hanya
dengan bantuan wahyu yang dapat memajukannya dalam mencapai
kesempurnaan.
Dengan demikian, setiap orang harus melihat apa yang dapat ia capai
setelah mengidentifikasi potensi yang ia miliki, kemudian mengaktualkan
potensi tersebut. Demikianlah tujuan hidup kita.
Sejauh ini, subyek permasalahan dikemas secara umum. Kini, kita harus
membahasnya secara detail: Apakah al-Qur’an telah membahas tujuan
manusia, dan apakah ia membeberkan alasan atas penciptaannya sekaligus
misi diutusnya para nabi.
Acapkali kita berkata bahwa manusia diciptakan untuk mencari kebahagiaan
dan Tuhan tidak menghendaki, juga tidak meraih keuntungan dalam
penciptaan manusia. Sejatinya, manusia ditakdirkan untuk memilih
jalannya secara bebas, petunjuk yang Tuhan berikan merupakan masalah
tugas dan keyakinan, bukan bersifat wajib dan instingtif.
Oleh karena itu, lantaran ia bebas, ia dapat memilih jalan yang benar.
Senada dengan apa yang disinggung dalam al-Qur’an, “Kami telah
menunjukkan jalan kepada manusia, ada yang syukur dan ada juga yang
kufur.” (Qs. al-Insan [76]:3) Namun apakah kebahagiaan itu menurut
al-Qur’an? Terkadang dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia dan
diutusnya para nabi adalah untuk membuat manusia kuat dalam ilmu dan
resolusi, sehingga ia dapat belajar lagi dan lagi, dan memiliki kekuatan
untuk melakukan apa yang ia senangi.
Lalu, tujuan penciptaan sebuah biji adalah untuk menyadari potensi yang
ia miliki untuk ia aktualkan menjadi sebuah pohon yang matang. Demikian
juga, pertumbuhan tulang seekor anak domba menjadi domba
memanifestasikan sebuah tujuan penciptaan (berguna untuk manusia).
Potensi yang terdapat pada manusia adalah lebih superior, ia dimaksudkan
untuk menjadi makhluk yang berilmu dan berkemampuan.
Semakin ia tahu, semakin ia dapat menggunakan pengetahuannya dan semakin
dekat ia kepada tujuan dan motif kemanusiaannya.
Terkadang dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai
kebahagiaan sepanjang hayatnya, ia harus hidup dengan senang dan bahagia
menikmati anugerah penciptaan dan semesta. Tidak terlalu banyak memikul
derita dan nestapa baik dari sebab-sebab alam maupun dari sebab-sebab
sesama makhluk. Hal ini dipandang sebagai kebahagiaan. Artinya, mencapai
kesenangan maksimal dan penderitaan minimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar